Jumat, 26 Maret 2021

Prolog

        Bagi sebagian orang, rumah adalah tujuan terakhir bagi kita untuk pulang setelah melewati perjalanan panjang yang cukup jauh. Tapi, tidak semua orang punya rumah untuk pulang. Tidak sedikit orang yang lupa jalan untuk kembali pulang, tidak sedikit orang yang tau pasti, setelah melalui perjalanan yang cukup panjang, kemana kaki harus melangkah selanjutnya.

        Namun, sayangnya. tidak semua orang punya tempat untuk pulang. Tidak semua orang punya rumah untuk pulang setelah lelah melalui perjalanan yang panjang dan melelahkan, aku benar-benar tidak punya tempat untuk pulang. Perjalanan panjang tanpa tempat untuk pulang selama 3 tahun ternyata sangat melelahkan. Namun selelah apapun perjalanan ini, aku masih belum siap untuk pulang.

        Tiga tahun yang lalu, aku memilih meninggalkan rumah di usia yang masih terlalu muda. Menjadi anak bungsu membuatku begitu berani untuk mengambil keputusan penting dalam hidupku. Tiga tahun yang lalu usiaku masih 19 tahun, saat aku dengan berani meninggalkan rumah demi sebuah mimpi yang bahkan tidak pernah memberikan sedikitpun bayangan bahwa mimpi itu akan berhasil.

        Namun, pada akhirnya tidak seharusnya ada rasa penyesalan. Meninggalkan rumah, meninggalkan keluarga, dan meninggalkan semua hal yang tidak aku inginkan. Aku berani bertindak sejauh ini, tanpa ad jaminan bahwa aku bisa menggapai mimpi yang sering disepelekan oleh Papaku. Karena sampai saat ini aku bisa bertahan tanpa subsidi apapun dari keluargaku. Model uang beasiswa dan laptop second yang aku beli hasil dari beasiswa di semester pertamaku. Aku bisa bertahan di Kota yang sering disebut kejam oleh banyak orang.

        Papa sering menyepelekan impianku, papa mengomentari hobi ku tentang menulis, tanpa papa sadari, bahwa karena menulis aku bisa mendapat beasiswa pertamaku. Aku mampu membeli laptop yang sejak SMA selalu papa janjikan namun tidak pernah di tepati sampai akhirnya aku bisa membelinya sendiri dengan beasiswaku. Papa punya mimpinya untuk anak-anaknya. Tapi sayangnya, mimpi papa bukan mimpiku. Dan mugkin memang bukan mimpi kakak-kakakku.

        Kak Adrian pada akhirnya masuk sekolah bisnis sesuai keinginan papa, padahal aku sangat tau, kak Adrian sangat ingin menjadi dokter. Aku tau seberapa besar usaha kak Adrian saat dia SMA agar nilai sekolahnya tidak turun, aku tau seberapa besar usahanya diam-diam mengikuti Tes Ujian masuk sekolah kedokteran. Aku tau kak Rani lebih senang memasak, aku tau kak Rani sering uji coba membuat resep kue yang pada akhirnya dia bagikan kepada orang-orang dipinggir jalan agar papa tidak melihat aktifitas kak Rani. 

        Aku sebenarnya bingung, entah keberanian dari mana yang aku dapat sehingga begitu nekat lari sampai Jakarta. Mimpiku sebenarnya bukan Jakarta, mimpiku hanya ingin tetap menulis, mimpiku hanya ingin bisa berekspresi. Aku tau mungkin bagi keluarga ku, dan bagi oranglain, keputusanku menunjukan sikap memberontak, keras kepala dan tidak bisa diatur. Tapi, aku hanya tidak ingin berakhir seperti kakak-kakak ku, Mereka hidup dengan penuh sesal, mereka menjalani hidup dengan beban. aku yakin dari lubuk hatinya, mereka pasti iri dengan keberanian sikapku yang bisa menentang keputusan papa. Aku hanya tidak ingin berakhir seperti mereka.

        Sampai saat ini, aku tidak menyesali semua keputusan yang kubuat. Walau, kadang sebenarnya ada perasaan rindu. Tapi akupun bingung rindu yang bagaimana yang aku rindukan. Rindu suasana rumah yang sepikah? Rindu suasana rumah yang hampir tidak ada suaranya? Rindu suasana rumah yang berisik karena alat makan yang beradu di meja makan? Rindu suasana rumah yang berisik hanya karena ada perdebatan? Tidak ada hal yang hangat dirumah. Mama lebih sering diam saat papa dan kakak-kakak atau denganku sedang berdebat.